Beberapa Pemikiran yang Tak Lagi Sama

Sekitar lima tahun yang lalu saya sempat menonton sebuah video Q and A salah satu youtuber yang berbasis di Inggris. Salah satu jawaban yang menurut saya menarik kurang lebih seperti ini,

Your current thought/opinion is not you. You are you. Consider your opinion as something that you put in front of you, not inside you. Whenever you acquire new knowledge or wisdom, you can always put your (old) opinion away.

Tidak tepat seperti itu sih, tapi kurang lebih maknanya demikian, saya terlalu malas untuk mengecek lagi videonya ;p. Nah saya kurang lebih sependapat sih. Apa-apa yang katakanlah 5 tahun lalu saya anggap benar atau berharga, bisa jadi saat ini tidak lagi demikian. Namanya hidup, konon tidak ada yang tetap karena yang tetap adalah perubahan itu sendiri.

Berangkat dari pemikiran itu, saya jadi coba-coba mendaftar beberapa hal yang dulunya saya pikir “gue banget”, tetapi seiring dengan bertambahnya usia ternyata ngga gitu-gitu amat. Beberapa hal itu adalah:

Saya suka belajar.

Ternyata tidak, sodara-sodara, saya tidak suka belajar ;p. Berawal ketika di masa kuliah, selepas suatu kelas salah satu teman saya bilang kalau dia suka belajar dan masih penasaran dengan matkul tersebut. Spontan saya membeo dengan pedenya mengatakan, “Ya, saya juga suka belajar!” karena ingin dianggap nyambung dengan si teman itu. Beberapa tahun kemudian saya menyadari kalau untuk mempelajari sesuatu, saya butuh komitmen dan konsistensi, dua hal yang saya lebih sering tidak punya kalau hal yang saya pelajari tidak benar-benar menarik minat saya. Jadilah saya yang sekarang cukup malas mempelajari hal-hal baru kalau memang tidak benar-benar butuh atau menarik minat saya ;p.

Suka dengan sesuatu pastilah ahli tentang sesuatu tersebut.

Ini lebih ke pencerahan, sih, buat sayanya. Masih bermula di masa kuliah juga, saya mengulang ujian di kelas statistik. Ketika ngobrol dengan salah seorang teman sekelas (bukan yang suka belajar), dia memaparkan kalau dia suka statistik. Menurutnya dari statistik kita bisa menarik suatu “insight” atas suatu fenomena dengan cara yang elegan. Saya yang masih sibuk memikirkan remidi ujian statistik tentu merasa “wah” dengan pernyataan teman saya itu. Kemudian saya tanya berapa nilai ujian statistiknya kemarin, ternyata dia akan ikut remidi bareng saya minggu depannya ;D. Dengan tertawa dia bilang, “Ya, saya memang suka statistik, tapi kan bukan berarti saya ahli di bidang statistik.” Jadilah saya semakin mantap untuk menganut paham yang sama dengan dia ;p.

Saya suka kopi arabika, dan bakal enjoy minum espresso.

Dulu saya selalu menganggap kalau kopi arabika lebih superior dibandingkan kopi robusta. Apalagi dari sisi harga kopi arabika relatif lebih mahal dibandingkan kopi robusta, dan kesan yang selalu saya tangkap saat itu, lebih mahal -> kualitas lebih bagus -> lebih enak. Tetapi seiring berjalannya waktu di mana sekarang hampir tiap hari saya menyeduh kopi, dengan rendah hati saya akui selera saya lebih cocok ke kopi robusta. Kopi arabika cenderung asam, dan saya lebih bisa menoleransi rasa pahit kafein ketimbang asam dalam minuman saya. Hal yang sama berlaku ke espresso, dulunya saya kira saya bakal bisa minum espresso dengan nikmat, pikir saya cuma segelas kecil gitu aja. Tapi ternyata, untuk kopi tanpa tambahan apapun, saya lebih suka seduh manual pakai V60. Kalaupun yang mendekati espresso, biasanya americano atau minuman berbasis espresso lain yang ditambah susu. Mungkin di kemudian hari nanti saya akan berubah pandangan lagi mengenai espresso, tetapi setidaknya untuk saat ini saya belum bisa menikmati minum espresso tanpa campuran apapun ;p.

Saya menganggap backpacking itu keren dan ingin melakukannya.

Saya masih menganggap backpacking itu hal yang pantas dikagumi secara wajar, tapi tidak ingin melakukannya. Pernah suatu ketika saya dan teman-teman pergi liburan semi backpacking di suatu tempat. Salah seorang teman bilang, “Asyik ya, kita ini backpacker, bukan turis!”, spontan saya bilang, “Ngga ah, aku lebih suka jadi turis daripada jadi backpacker. Kalo boleh milih dan biaya bukan masalah mending nginep di hotel daripada di hostel.”. Saat itu kami menginap di rumah warga lokal yang dijadikan penginapan, dengan penerangan remang-remang dan air keran yang sempat mati. Sekarang ini, kalau ada kesempatan untuk bepergian untuk berlibur saya lebih suka mencari kenyamanan dari sisi akomodasi dan transportasi. Ibaratnya sudah susah-susah cari waktu buat liburan, kalau masih harus memikirkan ngegembel ala backpacker di lokasi tujuan, mending ngga usah ke luar kota/negeri sekalian liburannya.

Saya bisa pindah dan menetap ke mana saja.

Itu pemikiran gejolak masa muda. Dulu saya selalu terkesima dengan orang-orang yang bisa hidup nomaden, atau setidaknya berpindah-pindah domisili untuk urusan pekerjaan. Dengan usia yang tak lagi muda tapi belum tua-tua amat, saya mendapati pindah domisili, apalagi sampai ke luar negeri, adalah hal yang melelahkan dan merepotkan. Sudah ada banyak sekali hal yang harus dipertimbangkan jika harus pindah dan menetap di suatu tempat. Jangankan menetap, jika saya ditugaskan kantor untuk pergi ke luar kota lebih dari satu minggu saja rasanya sudah malas. Semakin bertambah umur, semakin kuat keinginan untuk hidup santai sewajarnya saja. Hal yang tampaknya cukup sulit dicapai oleh saya jika masih harus berpindah-pindah domisili.

Kurang lebih itu beberapa perubahan yang dapat saya ingat saat ini. Bisa jadi di kemudian hari saya akan berubah pandangan lagi mengenai hal-hal tersebut, atau mengenai hal-hal lainnya. Sudah pasti, apa yang saya alami bisa jadi berbeda dengan pengalaman orang lain. Jadi kalau ada di antara pembaca yang budiman merasa kurang pas pengalamannya, ya sah-sah saja, silakan tulis di kolom komentar. 😀

Han Xin dan Tim-Tim Semenjana

Belakangan ini saya sedang menonton drama seri Mandarin di Netflix yang berjudul King’s War, berlatar akhir Dinasti Qin dan perseteruan Liu Bang dan Xiang Yu di awal mula pembentukan Dinasti Han. Nah, di sekitaran episode 60-an akhir atau 70-an awal ada menceritakan Pertempuran Jingxing antara pasukan Kerajaan Han di bawah pimpinan Han Xin dan pasukan Kerajaan Zhao yang dipimpin Chen Yu. Mengenai pertempurannya sendiri saya pernah bikin postingan soal ini, menceritakan kehebatan Han Xin mengatasi pasukan Zhao yang jumlahnya jauh lebih banyak. Pasukan Han bertempur dengan mode bertahan habis-habisan memunggungi sungai, sambil sesekali menyerang balik (tak lupa menyiapkan sebagian kecil pasukan untuk memasang bendera Han di kamp Zhou).

Pola demikian cukup bikin frustrasi lawannya, apalagi lawan yang di atas kertas lebih unggul baik dari segi jumlah maupun pengalaman. Sialnya, saya sering melihat pola demikian di pertandingan-pertandingan Liverpool kalau melawan tim-tim yang di atas kertas seharusnya bisa diatasi sepanjang musim ini, terutama pada paruh musim kedua. Ambil contoh ketika seri melawan Newcastle Sabtu 24 April 2021 kemarin, meskipun kebobolan gol cepat Mo Salah di menit ke-3, Newcastle bisa mempertahankan skor tetap 1-0 sampai turun minum. Oleh komentator dibilang bahwa Steve Bruce (pelatih Newcastle) adalah orang yang bahagia dengan hasil di babak pertama tersebut karena berhasil bertahan tidak sampai kebobolan lebih banyak. Nah di babak kedua Liverpool masih tidak bisa menuntaskan banyak peluangnya menjadi gol, sehingga situasi justru semakin lama semakin merugikan bagi Liverpool. Newcastle secara sporadis menyerang balik dan di penghujung laga bisa menyamakan kedudukan (bahkan bisa menang kalau VAR tidak berulah) sehingga skor akhir 1-1.

Situasi pertandingan demikian juga terlihat ketika Liverpool melawan Leeds United di pekan sebelumnya, juga ketika melawan Burnley di beberapa pekan sebelumnya lagi. Malah pas lawan Burnley komentator (kalau ngga salah Jim Beglin) bilang kalau Burnley tinggal bertahan aja asal jangan sampai kebobolan di babak pertama, moral tetap terjaga sehingga di babak kedua cepat atau lambat bisa melancarkan serangan balik mematikan. Ditambah dengan mandulnya pemain-pemain Liverpool di depan gawang, situasi semakin menguntungkan Burnley. Ketika akhirnya Burnley dikasih pinalti tentu saja tidak disia-siakan untuk akhirnya menang 0-1 di Anfield.

Ketidakmampuan mengkonversi peluang menjadi gol berbuah fatal bagi Liverpool, seperti halnya ketidakmampuan Chen Yu dari Zhao untuk mengeksploitasi kelemahan pasukan Han Xin (kalah jumlah pasukan, kebanyakan prajurit masih baru, perbekalan tinggal sedikit). Alih-alih bertahan menunggu pasukan Han Xin kehabisan perbekalan, Chen Yu malah “bermain” agresif dengan menyerang pasukan Han dengan membabi-buta. Sebelas-dua belas dengan Liverpool, unggul kualitas pemain tetapi tidak mampu memaksimalkan peluang yang tercipta, dengan kondisi lini belakang belum solid-solid amat ya terima nasib saja kalau sering dikadalin tim-tim semenjana. Bisa dibilang taktik Han Xin ini cukup ampuh diterapkan tim-tim kecil ketika melawan tim-tim besar (yang keasyikan menyerang).

OK, cukup sekian rutukan saya karena kembali nonton Liverpool yang bikin deg-degan setelah cukup dimanja dengan “garansi” menang di musim sebelumnya 😛

Engkong-engkong di bandara

Di jam-jam terakhir tahun 2017, saya mendadak pengen posting sesuatu, hitung-hitung buat mengisi satu-satunya postingan di tahun 2017 😆

Jadi bulan November kemarin, saya berkesempatan untuk berkunjung ke China. Bukan, saya bukan mau cerita soal gimana perjalanan saya selama di China. Saya pengen cerita pas perjalanan pulangnya saja. Saya pulang dari Nanning, di Provinsi Guangxi, provinsi paling selatan di China. Pesawatnya delay lumayan lama, sampai 6 jam. Nah, di bandara tersebut saya ketemu dengan engkong-engkong berusia sekitar 60-an tahun. Awalnya beliau hanya memandang saya yang ngobrol dengan teman saya (dalam bahasa Indonesia), kemudian ketika saya duduk di sebelahnya beliau menyapa saya dalam bahasa Mandarin. Tentu saja langsung saya jawab kalau saya tidak bisa bahasa Mandarin dalam bahasa Inggris. Eh beliaunya langsung ngajak saya ngobrol dalam bahasa Indonesia :lol:.

Si engkong ini adalah pensiunan pegawai provinsi Guangxi, meskipun dia tidak bilang apakah pegawai negeri atau bukan. Dia bercerita kalau dia dulu lahir di Malaysia, dan tumbuh besar di situ sampai umur 18 tahun. Kemudian dia sempat merantau ke Jakarta untuk bekerja selama beberapa tahun. Lalu di umur 20-an dia pergi ke China untuk bekerja di sana, dan akhirnya menjadi warga negara China. Macam-macam hal dia ceritakan, mulai dari sejarah hidupnya (yang sudah saya tuliskan di awal paragraf ini), apa pekerjaannya, apa kegiatannya setelah pensiun, bagaimana pemerintah China memperlakukannya, bagaimana pembangunan di China yang begitu ambisius, dan tak lupa nasihat khas orang tua terhadap anak muda matjam saya :lol:.

Dalam pekerjaannya dulu dia sering bertemu dengan orang Indonesia. Menurut dia banyak orang Indonesia (biasanya pengusaha atau mahasiswa) yang datang ke Guangxi, dan biasanya dia diminta oleh pemerintah Guangxi sebagai penterjemah. Dia menunjukkan beberapa nama orang Indonesia di buku catatannya untuk meyakinkan saya. Setelah pensiun, dia lebih banyak pelesir dan bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya (dia masih punya banyak saudara di Malaysia dan Indonesia) untuk mengisi hari tuanya. Dia bilang dia ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya di Jakarta, Sumbawa, dan Timor-Leste. Menurutnya pemerintah China sangat generous terhadap para pensiunan pegawainya. Pelesiran dia kali ini menurut dia dibiayai dari dana pensiunnya.

Mengenai pembangunan di China, menurut dia pemerintah China benar-benar menggenjot pembangunan infrastruktur. Penduduk-penduduk yang tinggal di lokasi proyek direlokasi ke gedung apartemen, sehingga lahan yang ditinggalkan bebas dibangun atau dikerjakan sesuatu oleh pemerintah. Saya iseng bertanya apakah penduduk tersebut pindah dengan sukarela? Kata dia, “Ya yang meminta pindah dan membeli lahannya memang perusahaan, tetapi di belakangnya ada pemerintah jadi ya warga menurut-menurut saja. Lagipula pembayarannya pantas, kok.” Saya cuma nyengir saja :P.

Saya jadi teringat salah satu mahasiswa di Wuhan yang menjadi panitia selama kegiatan saya di China. Dia tinggal di Wuhan dari lahir, dan menurut dia kota tersebut berubah sangat banyak dalam 5 tahun terakhir. Ketika kecil keluarganya tinggal di rumah di pinggiran sungai Yangtze, kemudian ketika dia berusia sekitar 6 tahun mereka pindah ke gedung apartemen yang disediakan oleh pemerintah, dan tinggal di situ sampai sekarang.

Nah, soal wejangan khas orang tua, dia mencontohkan dirinya sendiri yang masih tampak sehat dan masih lincah di usia mendekati 70. Nasihatnya mirip-mirip wejangan yang familiar di sini: jangan minum (alkohol), jangan berjudi, dan jangan main perempuan. Menurutnya itu rahasia sehat sampai tua. Saya manggut-manggut saja.

Akhirnya kamipun naik pesawat ketika tiba waktunya, dan kami berpisah ketika pesawat mendarat di Jakarta keesokan harinya.

Demikian postingan satu-satunya di tahun 2017 ini, selamat datang 2018 :mrgreen:


Top Posts & Pages