Posts Tagged 'muhibah Dinasti Ming'

Pertempuran yang Terjadi Selama Muhibah Dinasti Ming di Awal Abad XV

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membuat postingan tentang kasim, alias laki-laki yang dikebiri. Nah, dalam sejarah China klasik, keberadaan kasim sering dianggap sebagai penyebab kejatuhan berbagai dinasti dan rezim yang berkuasa. Umumnya kasim memiliki pengaruh yang besar di istana, dan sering terjadi bahwa para kasim-lah pemegang kekuasaan sebenarnya bersama ibu suri di istana. Tentu saja tidak semua kasim memiliki reputasi yang buruk. Ada beberapa kasim yang berkontribusi positif terhadap penguasanya, atau bahkan terhadap dunia. Ch’ai Lun adalah contoh kasim jaman Dinasti Han yang berjasa menemukan kertas, dan Zheng He adalah kasim Dinasti Ming yang berjasa “menyulut” globalisasi awal Asia-Afrika melalui jalur laut melalui 7 kali perjalanan muhibahnya dalam rentang tahun 1405-1433.
Nah, perjalanan muhibah Zheng He ini dikenal sebagai ekspedisi “damai” yang mementingkan perdagangan di Asia Tenggara dan Samudera Hindia. Tetapi meskipun begitu, tetap saja terjadi beberapa pertempuran antara armada superbesar tersebut (sekitar 40 ribu kapal) dengan beberapa penguasa lokal, baik yang disengaja maupun tidak. Berikut ini peta lokasi dan penjelasan beberapa pertempuran yang terjadi antara armada Zheng He dengan penguasa lokal :

battle_zhenghe-fix

1406, pelayaran pertama – PERANG RAJA BARAT DAN RAJA TIMUR DI JAWA

Pada pelayaran pertama, armada China berkunjung ke bagian timur Pulau Jawa pada tahun 1406. Saat itu di Jawa sedang terjadi perang saudara antara Wirabumi, putra selir Hayam Wuruk, dengan Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk. Ketika akan mangkat, Hayam Wuruk berwasiat kepada Wikramawardhana untuk untuk meneruskan tahtanya, sementara Wirabumi menjadi penguasa di Blambangan, bagian timur Pulau Jawa. Setelah Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perang saudara. Perang pertama pecah pada tahun 1401, sedangkan perang kedua terjadi pada tahun 1404-1406, dengan hasil Raja Timur digulingkan Raja Barat pada tahun 1406.
Ketika armada Zheng He sedang mengadakan pertemuan dan perdagangan dengan perantau Tionghoa di Gresik, yang merupakan bekas kekuasaan Raja Timur Wirabumi, anak buah Zheng He diserang oleh Raja Barat karena disangka hendak berkomplot dengan sisa-sisa kekuasaan Raja Timur. Dalam serbuan tersebut setidaknya 170 anak buah Zheng He tewas, sehingga Zheng He terpaksa mundur ke dekat Semarang untuk melindungi perantau Tionghoa di sana. Setelah menyadari kekeliruanya, Wikramawardhana segera mengirim utusan ke China untuk menghadap Kaisar Ming untuk meminta maaf. Oleh Kaisar Yong Le, Wirakramawardhana diwajibkan mengganti kerugian sebesar 60.000 tail emas. Pada tahun 1406, utusan Wikramawardhana dikirim ke China untuk menyerahkan 10.000 tail emas sebagai cicilan ganti rugi. Karena dianggap telah menyadari kesalahannya, Kaisar Ming menghapuskan sisa hutangnya dan sejak itu hubungan Ming-Jawa terpelihara dengan baik.

1407, pelayaran pertama – BAJAK LAUT CHEN ZHUYI DI PALEMBANG

Pada awal Dinasti Ming, sudah ada orang-orang perantau Tionghoa yang menetap di Palembang. Salah satunya adalah Chen Zhuyi yang berasal dari Chaozhou. Karena melanggar hukum di China, dia melarikan diri ke Palembang. Awalnya dia bekerja untuk raja Sriwijaya. Kemudian ketika raja Sriwijaya mangkat, dan Sriwijaya runtuh diserbu Majapahit, dia menghimpun bajak laut setempat dan menguasai perairan antara Palembang dan Jambi. Saat itu, selain Chen Zhuyi, kelompok perantau Tionghoa pimpinan Liang Daoming dan Shi Jiqing juga mendominasi Palembang dengan tetap tunduk pada Majapahit.
Ketika armada Zheng He kembali dari Calicut dan sampai di Palembang tahun 1407, Chen Zhuyi bermaksud untuk merompak armada tersebut, dengan berpura-pura mengikuti titah kaisar Ming untuk bertobat. Maksud jahat Chen tersebut dilaporkan oleh Shi Jiqing kepada Zheng He. Ketika kapal-kapal Chen Zhuyi mendekati armada Ming pada malam hari untuk serangan mendadak, anak buah Zheng He sudah siap sehingga Chen Zhuyi dan kelompoknya balik dikurung dan ditembaki dengan meriam. Pada pertempuran tersebut setidaknya lebih dari 5000 anak buah Chen Zhuyi tewas, 10 kapalnya terbakar, 7 kapalnya tertawan, dan stempel simbol kekuasaan Chen Zhuyi disita. Chen Zhuyi dan 2 komplotannya ditawan dan dibawa ke Nanjing untuk dieksekusi. Setelah perairan Palembang bebas ancaman bajak laut, Shi Jiqing diberi gelar duta Xuan Wei oleh kaisar Ming dan menjadi pemimpin perantau Tionghoa yang sah. Sebelumnya, ketika Sriwijaya runtuh, oleh Majapahit Shi Jiqing diangkat untuk mengurusi administrasi dan keagamaan di Palembang. Menurut Ming Shi, catatan sejarah Dinasti Ming, Shi Jiqing tetap tunduk kepada Majapahit meskipun menerima gelar dari kaisar Ming.

1411, pelayaran ke-3 – PERTEMPURAN DENGAN CEYLON

Ketika armada Zheng He menyinggahi Ceylon (Sri Lanka) pada pelayaran pertamanya, penguasa Ceylon bersikap tidak bersahabat sehingga armada Ming melanjutkan perjalannya ke Calicut, India. Pada pelayarannya yang ke-3, armada Ming kembali singgah di Ceylon pada tahun 1411 dengan membawa prasasti 3 bahasa sebagai tanda hubungan diplomatik.
Saat itu, pulau Ceylon terbagi menjadi 3 negara yang saling berperang, dan penguasa yang ditemui Zheng He adalah Alakeswara. Raja Alakeswara menolak pemasangan prasasti tersebut karena menganggapnya mengusik kedaulatannya, dan mengerahkan pasukan untuk mengusir armada China dengan kekerasan. Armada Zheng He kabur ke India, dan beberapa waktu kemudian kembali lagi ke Ceylon untuk membalas perlakuan sang raja. Tanpa kesulitan, armada Ming yang memang sudah siap bertempur membungkam perlawanan Ceylon dan menawan Raja Alakeswara ke Nanjing. Terkesan dan takut dengan kekuatan China, akhirnya Alakeswara menjalin hubungan sebagai negara vassal Ming dan membayar upeti kepada China setiap tahunnya. Pembayaran upeti tersebut berlangsung sampai lebih dari 40 tahun hingga tahun 1459. Prasasti 3 bahasa tersebut didirikan di Dondra Head, tanjung selatan Sri Lanka, dan saat ini tersimpan di Museum nasional di Colombo.

1415, pelayaran ke-4 – PERANG SIPIL DI SAMUDERA PASAI

Pada sekitar awal abad ke-15, Kerajaan Samudera Pasai tengah berperang dengan Kerajaaan Nakur (Batak). Dalam suatu pertempuran, raja Pasai meninggal terkena anak panah beracun. Karena putra mahkota, Zaynul Abidin masih kecil dan belum mampu membalas dendam, permaisuri berjanji di hadapan rakyatnya untuk menikahi siapapun yang berhasil membalaskan dendamnya dan merebut wilayah Pasai yang dikuasai Nakur. Seorang nelayan tampil ke muka dan bertempur dengan gagah berani ketika menghadapi Kerajaan Nakur. Bahkan raja Nakur pun berhasil dibunuh olehnya. Maka si nelayan itu pun menjadi suami permaisuri Pasai dan menjadi raja Samudera Pasai, dikenal sebagai ”Raja Tua”.
Ketika Zaynul Abidin tumbuh dewasa, ia membunuh ayah tirinya dan menjadi penguasa Kerajaan Samudera Pasai. Anak si nelayan sebelum menikahi permaisuri, Sekandar (Iskandar), segera mengungsi ke pegunungan dan menghimpun kekuatan untuk menghadapi Zaynul Abidin. Demi stabilitas politik, Zaynul Abidin meminta bantuan armada Zheng He ketika singgah di Pasai tahun 1415. Zheng He disambut dengan baik oleh Zaynul Abidin dan saling bertukar cendera mata. Sekandar yang merasa iri akhirnya menyerang armada Zheng He, dan berhasil dibalas sehingga Sekandar dan keluarganya melarikan diri ke Lambri (Banda Aceh). Akhirnya Sekandar berhasil ditawan di dibawa ke Nanjing untuk dihukum.

Begitulah. Mungkin masih ada pertempuran-pertempuran kecil yang terjadi antara armada tersebut dengan penguasa lokal maupun bajak laut setempat, terutama di pesisir barat Afrika, hanya saja tidak terdapat catatan yang menjelaskan peristiwanya, mungkin karena pertempurannya terlalu kecil sehingga tidak dianggap penting. Adapun maksud dari perjalanan muhibah Zheng He sendiri masih diperdebatkan sampai sekarang. Kebanyakan kalangan berpendapat kalau perjalanan ini memang perjalanan “damai”, dalam artian usaha “pamer kekuatan” kaisar Ming (Yong Le) untuk menaklukan negara-negara “barbar” ke dalam sistem upeti mereka. Dan negara-negara tersebut juga kebanyakan tidak terlalu memusingkan makna dari sistem upeti tersebut, karena dengan hanya membayar upeti berupa hasil bumi yg bisa jadi kurang berharga, mereka dapat berdagang banyak benda-benda berguna dari China seperti keramik, sutera, alat ukur, obat-obatan, teh, dan sebagainya yang malah memberikan keuntungan kepada mereka.